Dirjen Bimas Islam Kemenag RI uraikan relasi agama dan negara |
Jakarta - Peringatan kemerdekaan Republik Indonesia disambut antusias seluruh warga. Pawai HUT RI berlangsung meriah di sejumlah wilayah Bumi Pertiwi. Namun suasana gegap gempita tercederai kasus 18 personel Paskibraka Nasional putri yang dipaksa melepaskan jilbab saat dikukuhkan Presiden Joko Widodo di Ibu Kota Nusantara (IKN), Selasa, (12/8/24 ). Kebijakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dinilai ceroboh oleh netizen lantaran mengeluarkan peraturan diskriminatif tersebut.
Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut, dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, Kepala BPIP, Yudian Wahyudi merespon desakan publik berusaha memberikan penjelasan mengambang:
“BPIP tidak melakukan pemaksaan lepas jilbab. Penampilan Paskibraka putri dengan mengenakan pakaian, atribut dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada tugas kenegaraan, yaitu pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan,” ujar Yudian.
Setelah berhari-hari mendapat sorotan tajam, akhirnya BPIP meminta maaf dan memperbolehkan kembali penggunaan penutup kepala dan rambut bagi seluruh personel Paskibraka perempuan. Kendati begitu, realita yang dihadapi kemudian adalah betapa gamangnya kedudukan agama dan negara ditengah kehidupan bangsa yang majemuk.
Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., (2023), Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, pernah menulis tentang posisi agama dalam konstitusi negara (UUD dan juga Pancasila). Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 menyatakan, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Sementara pada ayat 2 disebutkan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
"Negara hanya dapat memfasilitasi umat beragama dalam menjalankan agamanya. Negara tidak dapat memaksakan sebuah ajaran agama untuk dilaksanakan. Negara pun tidak dapat menjadi pemutus mutlak terhadap perbedaan menyangkut implementasi agama di ruang-ruang publik," jelas Kamaruddin.
Artinya, upaya penyeragaman dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Negara menyiapkan ruang bebas bagi tiap-tiap pemeluk menjalankan-mengekspresikan keyakinan warganya, tak terkecuali dalam hal menerapkan kewajiban mengenakan kerudung. (Dn)
0 Komentar