Seminar Internasional Untan Pontianak Rumitnya Situasi Imigran di Jerman dan Uni Eropa |
Pontianak - Agresi Militer Rusia terhadap negara tetangganya, Ukraina menimbulkan eksalasi pengungsi besar-besaran ke negara-negara Barat. Tercatat awal Desember, Badan Urusan Pengungsi PBB UNHCR merilis data sekitar 4,8 juta orang di bagian timur Uni Eropa (UE), Polandia, Jerman, kawasan Baltik, Rumania dan Slovakia, mencari perlindungan. Diprediksi tahun depan jumlahnya bisa terus meningkat, jika perang tetap berlangsung.
"Disini terjadi krisis pengungsi terbesar sejak Perang Dunia II", sebagaimana dikatakan Komisaris Uni Eropa untuk urusan dalam negeri, Ylva Johansson, pertengahan Desember 2022 di Brussel. Lanjutnya: "Kita akan terus mendukung mereka. Kita akan menanggulangi krisis ini bersama-sama." (dw.com, 2023)
Masih menurut sumber yang sama, konsentrasi selama ini terpusat pada warga Ukraina yang datang ke wilayah UE (Uni Eropa), gilirannya mengakibatkan gelombang imigrasi yang terjadi di bagian tenggara UE sedikit terabaikan. Misalnya ditahun 2022, jumlah pencari suaka dari Suriah, Afghanistan, Pakistan atau Mesir, serta jumlah pelanggaran perbatasan kian meroket. Laporan Badan perlindungan perbatasan Eropa, Frontex mengungkapkan sampai bulan Oktober (2022), sekitar 280.000 jiwa imigran 'tak lazim', atau dapat dikatakan 77% lebih banyak daripada di tahun 2021, angka tertinggi sejak krisis pengungsi tahun 2015 dan 2016. Ini data resmi, sementara jumlah pendatang gelap tidak terdeteksi.
Baca juga: Politik Imigrasi UE Tahun 2023 Tetap Sulit
Sebagai analisis lanjutan problematika diatas, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak menggelar Seminar Internasional bertema "Political Situation In Germany And Europe", yang turut dimonitori Rektor Untan, Prof. Dr. H. Garuda Wiko, S.H., M.Si. Bertempat di Gedung Ruang Rektorat Lantai III, Senin, (22/05). Adapun Dr. Denis Suarsana (Direktur KAS Indonesia dan Timor Leste), Dr. Nor Azura A. Rahman (Dosen Sekolah Studi Internasional Sekolah Tinggi Hukum Pemerintahan dan Studi Internasional University Utara Malaysia) dan Annisa Dina Amalia, S.Sos, M.IR, (Akademisi FISIP UNTAN), tampil membawakan materi terkait isu yang dibahas berdasarkan keahlian dibidangnya masing-masing.
Diikuti secara daring sebanyak 400 lebih peserta dan 200 audiens offline, hingga diskusi selesai pukul 15.00 WIB. Tak ketinggalan, Moderator yang memandu jalannya pemaparan serta dialog interaktif ialah Sulaiman M.Pd., (Ketua Kajian Tadris Bahasa Inggris Program FTIK IAIN Pontianak).
Dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kemudian Pembacaan Do'a oleh Firdaus, S.IP., M.Sos. Materi disampaikan langsung dan bergantian antara ketiga Pembicara. Tim Halo Pontianak mengutip seksama paparan Annisa Dina Amalia, S.Sos, M.IR (Akademisi FISIP UNTAN) menggunakan bahasa Inggris.
Berdasaran amatannya, untuk menjawab mengapa peristiwa migrasi semakin marak di Eropa: First, Migration is integral for EU's foreign policy since 1999; Second, 7,9 million Ukrainans seek refuge in Europe since early 2022; Third, Wave of "irregular" migration, strong securitization; Fourth, Labour shortages but unclear employment and integration policies; Fifth, Tendency towards "regionalizing" and "externalizing" migration policies.
Artinya, "Migrasi merupakan bagian integral tak terpisahkan dari kebijakan luar negeri UE sejak 1999; Kedua, 7,9 juta warga Ukraina mencari perlindungan di Eropa sejak awal 2022; Ketiga, Gelombang migrasi “tidak teratur”, dan sekuritisasi yang kuat; Keempat, Kekurangan tenaga kerja tetapi kebijakan ketenagakerjaan dan integrasi yang tidak jelas; Kelima, Kecenderungan kebijakan migrasi yang “regionalisasi” dan “eksternalisasi”, terangnya.
Tambahan informasi, Peneliti persoalan imigrasi, Gerald Knaus juga mengkritik keras situasi politik pengungsi dan suaka di Eropa. Dia melihat "kondisi dramatis di dalam UE", disebabkan UE menandatangani konvensi HAM dan pemberian suaka, namun sejak 2021, kesepakatan tersebut tidak lagi digubris", demikian Knaus dalam wawancara dengan televisi Austria "Puls 24". Knaus menekankan perlu lebih banyak konsensus urusan imigrasi dengan negara-negara asal, untuk mengurangi tekanan dan mencegah pengungsi melakukan upaya imigrasi yang seringkali gagal. Perundingan rumit dengan negara asal seperti Pakistan, Afghanistan, Mesir dan Suriah menancapkan tugas berat masih menunggu Uni Eropa di tahun 2023.
Selain itu, Peraturan Dublin (Jerman) yang menetapkan negara pertama yang didatangi diwajibkan menangani pengungsi justru tidak berfungsi. Komisi UE mengajukan berbagai usulan reformasi. Faktanya, diantara 10 RUU, baru tiga yang sudah dibicarakan sungguh-sungguh. Padahal, pernyataan Komisaris UE Ylva Johansson seyogyanya menegaskan, serangkaian UU akan diresmikan, guna menempatkan sistem yang terdiri dari pertanggungjawaban dan solidaritas dalam politik migrasi UE dan politik permintaan suaka, agar kedepan mampu meminimalisir resistensi negara penampung imigran. (wy/dnp)
Penulis : Widia Permatasari
Editor : Danyputra
Foto : Tim Media FISIP UNTAN
0 Komentar