Sekilas kita sudah langsung tahu framingnya kemana. Pembicaraan hambar, garing, monolog, bahkan salahsatu peserta bernama Anwar, yang berusaha mengungkapkan perspektif berbeda, cenderung dihalang-halangi, ada unsur sedikit sabotase untuk membatasi munculnya pemikiran alternatif.
Masih dirundung rasa penasaran, saya juga membubuhkan banyak pertanyaan namun tak satupun dijawab, khususnya kepada Syabab GP yang katanya ahli sejarah, ternyata referensinya minim sekali, dan diam seribu bahasa ketika ditanya menggunakan dialektika terbalik.
"Di Negara Non-Demokrasi, Gema Pembebasan apakah bisa eksis? sampai bikin live streaming seperti saat ini?"
"GP sendiri menawarkan/menjual konsep bakunya ke Non-Muslim, Bagaimana responnya?
Oleh sebab tidak terjawab, sementara Pemateri 'memaksa' audiens mendeligimasi NKRI, kemudian mengutip perpecahan 3 Kubu antara Kelompok Islam, Kelompok Nasionalis-Sekular, dan Kelompok Sosialis-Komunis, namun alpa menyampaikan bahwa seluruh elemen bangsa, termasuk ulama akhirnya bersepakat dengan konsep bernegara jumhuriyyah (Republik), setelah era sebelumnya, Nusantara terbagi menjadi beberapa negeri, bernaung dibawah payung kerajaan (Al-Mamlaka).
Untuk mengembangkan literasi kearah positif, saya coba akses informasi lain yang lebih bermanfaat, dan akhirnya mendapatkan video ini dari salah seorang Tokoh Kabupaten Sambas. Mengisahkan hikayat Raja Tengah, sejarah tergambar fokus, tidak membawa kepentingan transnasional, mengalir biasa saja tanpa memicu kebencian terhadap negara masing-masing.
Menarik disimak Relasi Islam Brunei Darussalam, Sarawak, Sambas, dan Sukadana. Sangat menginspirasi untuk tambahan nutrisi dibulan Ramadan. Menutupi kekeringan bahasan ala GP Pusat. Selamat menyaksikan!
0 Komentar