Dany Chaniago, Eks. Syabab HTI Kalbar saat memberikan materi Simulasi Radikalisme di IAIN Pontianak |
Jika ketika halaqoh (pengajian eksklusif) saya diajari melakukan tahkim terhadap siapapun bahkan mencap kafir negara, namun para pendidik tetap menganggap saya mahasiswa biasa, barangkali waktu itu tengah mencari jatidiri, tak menunjuk muka. Sembari berdialektik halus, disuguhi aneka bahan bacaan terkait agama dan kebangsaan. Membuka ruang dan dinamika berpikir perlahan-lahan.
Tampil sebagai Pemateri terakhir sesi pagi, saya tidak memberikan paparan yang berat. Hanya sekedar menguji sejauh mana tingkat literasi sekitar 450 adik-adik mahasiswa semester 2 - semester 6, Panitia pun berkenan membantu memutarkan film berdurasi 2 menit berjudul, "Jejak Khilafah di Nusantara" karangan HTI.
Selanjutnya kami berdiskusi, lalu saya melempar tanya, "Apakah Anda setuju dengan film barusan?" Sorak-sorai menyahut, "Tidak Pak". Akan tetapi terdapat sayup-sayup seperti takut bersuara, sedikitnya 1 mahasiswa mengaku setuju konsep Khilafah jika diterapkan di Indonesia. Alasan dia: Praktek hukum di negeri ini seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah, belum lagi fenomena korupsi yang menggurita, jadi pekerjaan rumah bersama.
Menyambut argumentasi tersebut, saya lantas tersenyum dan bercanda bahwa "mahasiswa" seperti kamu amat sangat rentan terpapar ekstrimisme, bersambung tawa silih berganti semua yang hadir di ruangan Abdur Rani. Sesungguhnya kontra-narasi untuk membalikkan keadaan tidaklah sulit. Cukup hadirkan pandangan, "Sejatinya HTI sendiri, mereka anti Khilafah". Mengapa demikian? Sebab sesama kelompok garis keras hingga detik ini tak pernah saling sepakat Siapa Pimpinan Daulah Khilafah dan dimana Posisi Pusat Pemerintahannya. Mengapa mereka tak melebur bersatu terlebih dahulu, malah membelah dalam banyak friksi?
Baca juga : Hadirkan Eks ISIS dan HTI di IAIN Pontianak, Calon Pengurus Ormawa IAIN Pontianak Antusias
Tentu beragam logika lain yang bisa membantahnya dengan mudah, dan sekali lagi saya tegaskan, berdasarkan pengalaman pribadi, Kaum Puritan Ekstrimis cukup piawai memoles isu, mengemasnya untuk satu trending topik, paling spesifik terkait kelemahan-kelemahan negara, kemudian menggiring opini publik agar mengikut sugesti pemikiran mereka; Khilafah Tahririyah. Sedangkan kalau ada hal positif dari Bangsa, kurang diapresiasi.
Di akhir kalam, saya mengajak Calon-calon Sarjana Muda ini menelaah lebih lanjut. Dalam tataran praktis, Kelompok Fundamentalis ini tak terlepas dari penerapan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Sekarang bagaimana cara kita mengaudit Petinggi-petinggi mereka, Pimpinan pengendali luar negeri, besar kemungkinan secara transaksional bertindak korup. Ditambah laporan lokal yang sering kami terima, adanya diskriminasi sesama pemeluk doktrin khilafers (jarak antara Si Kaya dan Si Miskin). Semakin lengkap menyaksikan langsung kapitalisme dakwah yang mereka gencarkan di media sosial.
Artinya, baik/buruknya sesuatu, apakah mutlak dikarenakan rusaknya sistem bernegara ataukah semata murni individu?
Semua menjawab, "kesalahan oknumnya!".
Sampai disini saya bisa bernafas lega dan mahasiswa yang setuju khilafah ala JKDN (propaganda ideologi transnasional) tadi diperintahkan Bapak Moderator, Zarkasih, S.EI., M.E., memandu ikrar. Kami kompak berjuang, bertekad bersama tangkal radikalisme - terorisme, jaga keutuhan NKRI.
Hikmahnya? Meski digawangi multi perspektif ilmu keagamaan, Perguruan Tinggi Negeri tak bisa menghindar, tetap tak aman, serta rawan kebocoran, relatif mudah terjangkit virus pemikiran 'ganas' ini, sehingga penting pendidikan keagamaan dan kebangsaan dilaksanakan secara intens, tak sekedar giat seremonial belaka yang terkadang gampang 'masuk angin'.
Foto : Bambang Eko Priyanto
Editor : Tim Redaksi
0 Komentar