Pontianak - Lagi ramai di media sosial hingga televisi, bahkan jadi headline prime time, kita dipertontonkan gaya hidup mewah para pejabat beserta istri dan anak-anaknya, diduga diperoleh dari hasil tindak pidana pencucian uang hingga korupsi. Pertanyaannya, apakah hikmah fenomena hedonisme kaum elit dan keluarganya tersebut? Lantas bimbingan apa yang diperlukan agar hidup kita bisa terkendali, sejalan dengan maqashidus syari’ah? Penulis berkeyakinan bahwa salah satu solusinya yaitu melaksanakan ibadah Puasa Ramadhan.
Pola parlente kian mewabah umat Islam dibumi nusantara, merangsek berbagai kalangan, mulai kelas bawah sampai high class. Masing-masing orang, kelompok, komunitas, saling berlomba-lomba mengeksiskan diri di Tik Tok, Instagram, Facebook, Twitter, dan aplikasi media sosial lainnya. Ada memang sebagian yang memanfaatkan platform media sosial digital tersebut sebagai sarana dakwah, tetapi lebih banyak digunakan untuk show up kehidupan hedon bak selebritis barat, bersenang-senang berujung riya’, membuat orang lain iri, dengki, hingga akhirnya akibat ketidakmampuan, sebagian diantaranya memaksakan diri nekat berbuat kejahatan demi meniru junjungannya.
Hiruk pikuk kemewahan duniawi membuat manusia seakan kehilangan kendali, padahal sejatinya kita adalah manusia beragama yang memiliki kontrol diri, dalam hal ini ajaran agama Islam, salahsatunya melalui momentum ibadah puasa.
Keistimewaan ramadhan sesungguhnya menjadi waktu umat Islam untuk bermuhasabah, mengevaluasi sekaligus meningkatkan amal karena dibulan ini mendapatkan ganjaran pahala yang luar biasa dahsyat. Sehubungan hal tersebut, penting kita merenungkan sabda Rasulullah Saw, diriwayatkan oleh Ummi Hani’ binti Abi Thalib dan dicatat Imam at-Thabrani dalam kitab Mu’jamus Shagir, juz 2, h. 16
Terjemahannya ialah: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya umatku tidak akan terhina, selama mereka mendirikan bulan Ramadhan.’ Sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa bentuk kehinaan mereka dalam menyia-nyiakan bulan Ramadhan?’ Rasulullah menjawab, ‘Pelanggaran terhadap hal-hal yang haram pada bulan Ramadhan, seperti zina atau minum khamar. Allah dan para malaikat melaknatnya hingga tahun berikutnya. Jika ia meninggal sebelum bulan Ramadhan berikutnya, maka ia tidak mempunyai kebaikan apa pun di sisi Allah yang bisa menyelamatkannya dari neraka. Oleh sebab itu, berhati-hatilah terhadap bulan Ramadhan, karena pahala kebaikan demikian juga ganjaran kejelekan akan dilipat gandakan”.
Intisari hadis sebagaimana diatas memberikan sebuah pemahaman bagi kita tentang betapa besarnya nilai ibadah dibulan suci, dimana pahala dilipatgandakan ketika dibandingkan bulan-bulan yang lain. Berlaku pula sebaliknya, sekecil apapun kesalahan pada bulan mulia, akan tetap mengungguli perihal dosanya.
Jika kita mampu memaksimalkan ibadah Puasa Ramadhan, misalnya memperbanyak salat tarawih, salat malam, tadarrus Al-Qur’an, dan mengaji untuk memperdalam ilmu agama. Disemai juga dengan perbuatan ibadah sosial seperti bersedekah, menyantuni anak yatim dan para dhuafa, bersilaturrahim kepada tetangga dan karib kerabat, serta menjaga hubungan sesama umat manusia dalam bingkai moderasi beragama.
InsyaAllah, jika kita bisa melaksanakan ibabah Puasa Ramadhan penuh khidmat, diisi sejumlah amal saleh, maka Puasa Ramadhan akan mampu mengguidance yaitu membimbing dan menuntun kita terkendali dari hidup hedonisme, untuk menjadi umat berkarakter mulia, berpandu nilai-nilai kearifan lokal, menjadi manusia yang berkualitas, progresif, serta selamat di dunia maupun di akhirat kelak menuju taman surgawi dipenuhi bidadari berkenikmatan abadi.
Penulis : D. Darmadi JA
Editor : Danyputra
0 Komentar