Foto: Fadrin, HTI Singkawang |
Pontianak - Bagi siapapun pengamal ibadah puasa, khususnya Muslimin yang sudah terdidik sedari kecil, alangkah mudahnya menahan lapar dan haus, lantaran menjadi kebiasaan, terlatih selama bertahun-tahun. Namun tuntutan syariat apakah semata terpaku kepada ihwal dzahir saja? ternyata tidak.
Entah faktor disengaja atau tidak, terkadang dalam tekanan kondisi tertentu, kita dipaksa oleh keadaan dimana taklif propaganda selalu menghantui setiap waktu, mengelabui akal pikiran, hingga berimbas kepada perbuatan provokatif bahkan sampai menyebar hoax. Lantas apakah kemudian membatalkan shaum kita?
Sejak dulu kala, Rasulullah SAW telah memberikan peringatan tegas agar umatnya menjauhi perbuatan berbohong, berdusta dalam situasi apapun, apalagi ketika tengah melaksanakan puasa Ramadhan atau sunnah. Termaktub dalam sebuah hadis:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).
Isyaroh sabda tersebut mengarah konteks batal-tidaknya puasa seseorang, diluar perkara yang jelas seperti memasukkan benda ke tubuh, seperti jima’ (berhubungan badan), makan, dan minum. Kecuali infus, berlaku hukum rukhsah, terjadi ikhtilaf di kalangan Ulama.
Lalu bagaimana dengan tindakan kadzab?
Mengutip perspektif Al 'Alim Sayyid Muhammad bin Ismail Al-Kahlani bahwa berbohong saat berpuasa tidak dapat merusak puasa. Hadits Nabi SAW bermakna pesan Beliau terkait perbuatan nir-adab dengan berkata dusta, tidak serta-merta membuat ibadah puasa batal.
Al-Kahlani menjabarkan lebih lanjut, mengacu Kitab Subulus-Salam:
الحديث دليل على تحريم الكذب و العمل به و تحريم السفه على الصائم وهما محرمان على غير الصئم أيضا (سبل السلام، ج. ٢)
“Hadits termaksud merupakan dalil akan haramnya berbohong secara disengaja, dan haramnya berlaku bodoh atau membuat kegaduhan, sehingga orang yang berpuasa terkena dampak negatifnya. Kedua perbuatan (buruk) itu juga haram bagi orang yang tidak berpuasa".
Alhasil, berdasarkan uraian diatas, berita yang tersiar melalui majalah ini memuat kepalsuan informasi, menghasut publik, sekaligus berdusta kepada:
1. Allah SWT
2. Nabi Muhammad SAW
3. Ulama (MUI)
4. Masyarakat
Meski puasanya tetap sah, namun fadilah (keutamaannya) berkurang, malah menambah dosa berganda (muakkad), sebagai akibat disisipi kegiatan tercela itu.
Wallahu 'Alam 🙏
0 Komentar