Aming Coffee

Aming Coffee

Child Free dalam Tinjauan Ilmu Fikih Ulama Klasik dan Ulama Kontemporer, Perspektif Gus Abdul Wahab Ahmad

Dr. Abdul Wahab Ahmad

Pontianak - Keputusan pasangan sah tidak memiliki keturunan, menjadi obyek pembahasan yang menarik belum lama ini. Pro - Kontra pun tak dapat dihindari. Satu pihak menentang sangat keras (kaum konservatif), sementara pihak yang lain, mendukung bahkan membenarkan tindakan tersebut seyogyanya bentuk kebebasan berekspresi (kaum modern-liberal). Untuk menengahi pertentangan antar kedua kubu, bagaimana mendudukkan fenomena Child Free, jika ditinjau berdasarkan hasil pengkajian Ilmu Fikih Para Ulama Klasik dan Kontemporer dalam perspektif Abdul Wahab Ahmad? Seorang Akademisi UIN K.H. Hasyim Asy'ari Jember, Jawa Timur. Berikut ulasannya:  

Pada tulisan kali ini, saya akan membahas bahas terkait persoalan pilihan untuk tidak mempunyai anak (childfree) agar persoalannya menjadi jelas. Untuk memudahkan, saya membuatnya dalam beberapa point:

1. Hukum asal menikah tidaklah wajib tetapi sunnah, dan dapat berubah dalam kondisi tertentu yang spesifik sehingga ada berlaku atasnya 5 jenis tahkim: haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib. Namun dikarenakan menikah sendiri tidak wajib, maka otomatis segala konsekuensi pernikahan, termasuk mempunyai keturunan, hukum asalnya juga tidak wajib. 

2. Berusaha mempunyai anak hukumnya sunnah. Oleh sebab itu, makin banyak anak makin baik dan Nabi Muhammad membanggakan hal tersebut. Dalam doktrin Islam juga ditekankan bahwa kehadiran anak merupakan berkah dan pembawa jalan rezeki. Lawan kata dari "berusaha mempunyai anak" adalah berusaha untuk tidak mempunyai anak. Hukum asal berusaha tidak mempunyai anak adalah makruh sebab lawan dari sunnah adalah makruh.

Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan hanya sebatas bertujuan semata menyalurkan syahwat biologis secara halal tanpa bermaksud memiliki anak tidaklah terlarang meskipun tidak ideal, bahkan masih termasuk hal yang terpuji sebab berusaha menjaga diri dari maksiat, maka tidak dioerbolehkan mencela tindakan seperti ini, karena yang tercela dalam agama adalah melakukan maksiat atau pelanggaran, bukan tidak melakukan hal yang ideal. 

Adapun kondisi tidak mempunyai anak lantaran terjadi dengan sendirinya tanpa diusahakan, maka itu bukan wilayah yang dapat dihukumi tetapi kondisi atas kehendak Tuhan. Mencerca 'nasib' tidak punya anak yang dialami orang lain merupakan tindakan haram dan bentuk gugatan atas takdir Allah. 

Contoh tindakan berusaha tidak mempunyai anak yang makruh adalah melakukan azl alias mengeluarkan sperma diluar rahim agar tidak terjadi kehamilan. Mengenai permasalahan ini, Para Ulama klasik telah membahasnya di berbagai karya mereka. Menggunakan Pil KB dan alat kontrasepsi lain yang sifatnya hanya menunda kelahiran atau membuat seorang istri tidak hamil tetapi tidak permanen dibahas juga oleh ulama kontemporer dan disamakan hukumnya dengan azl tersebut, yakni makruh, atau dianggap tidak baik dan tidak ideal, namun pelakunya tidak sampai berdosa (tidak haram). 

Seperti lazim diketahui, hukum asal makruh ialah berusaha untuk tidak mempunyai anak, dapat berubah menjadi haram apalagi dalam upaya ke arah sana, dilakukanlah hal-hal yang melanggar aturan, semisal merusak atau memandulkan organ reproduksi, sehingga tidak dapat mempunyai anak lagi. Agama Islam dengan tegas melarang tindakan mengubah tubuh manusia yang telah diciptakan Allah atau merusak fungsinya (QS. An-Nisa':119)

Termasuk juga yang sangat diharamkan adalah mempromosikan atau melakukan propaganda mengarahkan orang lain tidak menikah dan atau tidak mempunyai anak, itu sama artinya membuat gerakan untuk menentang apa yang jelas-jelas disunnahkan dalam agama dan menganggapnya sebagai perkara buruk. Pelakunya akan termasuk dalam sabda Nabi:

فمن رغب عن سنتي فليس مني

"maka siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia bukan golonganku" 

Jadi bisa disimpulkan, bila child free yang dimaksud adalah keputusan pribadi pasangan suami istri untuk tidak mempunyai anak karena alasan tertentu tanpa mengampanyekannya untuk ditiru orang lain dan tanpa menentang hukum asal bahwa dalam kondisi normal dan umum itu adalah kebaikan, maka hukumnya makruh. Sebaliknya bila hal itu dilakukan dengan cara memandulkan organ reproduksi laki-laki, perempuan atau keduanya, maka haram. Sama halnya anti terhadap anak dan membuat gerakan supaya pasangan baru menikah merasa terbebani terhadap kelahiran anak, maka itu haram dan merupakan dosa besar yang harus ditobati secara khusus. 

Hukum serupa berlaku untuk kasus kesunnahan lain yang sebenarnya tidak masalah tatkala seseorang tidak melakukannya (sebab memang tidak wajib), tetapi akan menjadi pidana serius apabila orang tersebut menentang kesunnahan tersebut dan menganggapnya sebagai keburukan. (AWA)

Editor: Danyputra 

Posting Komentar

0 Komentar