Aming Coffee

Aming Coffee

Pentingnya Gerakan Dakwah Kultural Mengadopsi Konsep Islamic Packaging

Ustadz Zein Muchsin 
Sambas - Selalu asyik melihat perkembangan dakwah perkotaan akhir-akhir ini dimana geliat maupun antusiasme masyarakat dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman senantiasa bertumbuh. Pangsa pasar yang besar inilah, kemudian dimanfaatkan berbagai kelompok berjejaring internasional dalam memasarkan ide, gagasan, doktrin pemikiran mereka. Sebuah gelombang yang riaknya telah penulis nikmati belasan tahun silam. Meski berlatarbelakang pendidikan agama non-pesantren sedari kecil, dakwah "Islamic Packaging" tetap dipandang menarik, sebab bagaimana pola-pola pendekatan dijalin sehingga menciptakan ikatan emosional, dan kalau sudah sampai tahap ini, apapun yang disampaikan akan dinilai sebagai kebenaran. Misalnya bagaimana mereka membuat ekosistem yang nyaman bagi para remaja. Penulis mengambil contoh beberapa aliran keagamaan yang pernah diikuti.

1. Hizbut Tahrir

Kelompok terlarang ini hadir ke sekolah kami, Madrasah Aliyah Negeri 2 Pontianak, menyaru ke dalam program buletin jum'atan "Luqmanul Hakim". Setiap pekan, seluruh kelas didatangi petugas rohis untuk dimintai infaq sukarela. Terkumpulnya dana dijadikan operasional untuk mencetak buletin edisi berikutnya, ataupun kegiatan-kegiatan lain yang terhubung. Adapun secara pribadi, penulis kerap "ditausiyahi" oleh saudara sepupu yang terpapar saat mengikuti pendidikan kedinasan di Tangerang. Perubahan sikap dan tingkah lakunya, membuat penulis merasa malu oleh kealimannya menjalankan ibadah formal. 

Atas rasa interest itu, penulis diarahkan dan dibawa bertemu Ustadz Muslim, pentolan HTI Kalimantan Barat yang datang dari Banjarmasin. Tahun 2007-2008, terjadilah intensitas komunikasi dan kami menyepakati jadwal 'mengaji' tiap malam minggu. Waktu paling pas dimana biasanya anak usia remaja sibuk diluar berpacaran, ataupun kegiatan umum lainnya. Enam bulan pertama, tidak ada sama sekali doktrinasi pemikiran pendirinya, kemauan saya diikuti seputar membahas masalah percintaan, seakan memaklumi, usia 17 tahun merupakan kondisi pancaroba, yang penting bisa didekati secara psikologis.  

Setelah tanpa sadar menjadi bagian inti dari kelompok, penulis mulai dilibatkan aneka acara keagamaan, yang selalu disesuaikan dengan persoalan remaja, terutama dijelaskan maraknya pergaulan bebas, tingginya tingkat penderita HIV-AIDS usia dini, lalu disela-sela itu baru menitipkan pahamnya, yaitu kembali pada Sistem Pergaulan Islam yang hanya bisa diwujudkan oleh Khilafah Tahririyah. Singkat cerita, dalam diri penulis mulai banyak mendapat pertentangan ketika diajari Kitab Nidzhamul Islam, khususnya tatkala membahas takdir, kepemimpinan berpikir, dan terang-terangan menyerang nasionalisme.   

2. Ikhwanul Muslimin  

Berkiprah lebih senior ketimbang HTI, era 2009 menjadi fenomena rebutan kader antar keduanya. Dalam posisi ini, penulis selain diproyeksikan untuk menjadi anggota permanen (Hizbiyyin), disisi lain kemasan dakwah ala IM tak kalah menggugah semangat, bahkan dalam banyak sisi tampak lebih kreatif. Juga tak kurang 1 semester, penulis sempat mengikuti program Pesantren Mahasiswa LABBAIK, di Jl. Ampera Kota Pontianak. Dalam perbandingan subyektif, program-program IM/PKS terkesan jauh lebih religius, dimulai tertib baca Al-Qur'an berikut Tahsin dan Tajwid, Bahasa Arab, sampai rutinan membaca Al-Ma'tsurat pagi dan petang, ditambah lagi program rutinan salat dhuha, salat tahajud, plus muhasabah berjamaah, adalah momentum paling berbekas, bahkan tak jarang membuat menangis.

Apalagi, meski tak memiliki background sekolah pesantren, baik HTI maupun IM terkadang memiliki kecocokan, seperti membuat program Training Motivasi, Mabit atau Beri'tikaf di Masjid, sambil menonton video-video perjuangan Palestina, Gerilya ISIS, Hamas, menanamkan gairah membela 'Islam'.   

3. Salafi - Wahabi 

Benar sekali apa yang diutarakan oleh Ustadz Ahmad Husain Fahasbu, mendapatkan riwayat cerita dari temannya, bahwa salah satu sebab makin ke sini dakwah wahabi/salafi makin diterima salah satunya karena mereka mengubah strategi dakwahnya. Para dai-dai wahabi sekarang makin jarang membahas khilafiyah, memberi labeling, melakukan vonis pada orang lain dan hal-hal yang membuat ribut.

Mereka justru fokus kajian-kajian yang tampak "rasional" dan "ngintelek". Misal kajian "Sirah Nabi", "Kajian Sunnah", kajian "Tazkiyatun Nafs", kajian "Husnul Khatimah", "Persatuan Umat", "Kebangkitan Islam", dan tema-tema yang memang dicari-cari umat hari-hari ini. Mereka juga lebih meramaikan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan seperti bedah rumah, turun ke lokasi bencana dan lain sebagainya. 

Selama perjalanan penulis mencari 'kebenaran', walaupun mengakui senang berkumpul bersama aktivis IM dan HTI, terdapat nilai minus mentor keduanya, yaitu dari sisi pendalilan. IM terlalu banyak menggunakan perintah atasan atas nama tsiqoh, sementara HTI terlalu banyak menggunakan logika namun jauh tak menuju substansi ayat. Disinilah tak jarang, setelah menyelami dua harokah transnasional tersebut, muncul keinginan mendalami Al-Qur'an dan As-Sunnah. Entah kebetulan atau tidak, eksistensi Wahabi mulai menyala, akhirnya Penulis tahun 2011 memutuskan meninggalkan perkuliahan di IAIN Pontianak, dan mencoba peruntungan baru dengan memasuki Ma'had Salafi, "Utsman bin Affan", di Cipayung, Jakarta Timur. Setibanya disana, belasan teman lain asal Kalbar telah hadir duluan. Zaman itu memang gelora awal kemajuan firqoh-firqoh kanan-ekstrim, tak sedikit diantara teman penulis, berhenti kuliah di tempat asalnya, Universitas Tanjungpura, padahal hanya tersisa menyusun skripsi.    

Berdasarkan pengalaman diatas, penulis hendak menyampaikan terkait konsep Islamic Packaging begitu menyita perhatian anak muda, terlebih mereka yang berasal dari daerah, dalam hal: membangun kedekatan emosional, mengadakan kegiatan dengan berbagai tema sesuai selera remaja, memberikan panggung bagi mereka yang kreatif dan berprestasi, tak terkecuali di bidang pendidikan, berupa beasiswa full hingga tingkat tertinggi. Kemudian mereka memiliki tokoh yang dibranding sedemikian rupa sehingga menjadi rujukan, alias selebritis dibidang keagamaan. HTI punya Felix Siauw, IM punya Salim A. Fillah, Salafi punya Khalid dan Syafiq Basalamah. Bagi gerakan dakwah kultural, tentu tak kalah penting melakukan tindakan yang sama; Amati, Tiru, Modifikasi (ATM).

Sejauh pengamatan penulis, HTI, IM, dan Salaf-Wahabi, memiliki kekurangan dan kekurangan itu merupakan kelebihan bagi kalangan tradisional, yakni literasi. Keterbatasan mereka dalam mengkaji literatur keislaman, menjadi peluang sekaligus tantangan dalam memberikan argumentasi pembanding. Diantara yang penulis nilai sangat minim bahkan nyaris tidak ada ialah mengenai hubungan agama dan negara, islam dan budaya lokal, serta hukum-hukum praktis-mendetil yang dibutuhkan masyarakat.o

Kalau memoret animo warga perkotaan, sebetulnya tak begitu mementingkan afiliasi setiap penceramah. Penulis pun sepakat dengan pernyataan ini, "Saya merasa orang-orang kota memang mencari format agama yang menawarkan spritualitas dan keheningan, bukan pemahaman dan pengamalan  yang "ramai", pengikutnya tiap hari bertengkar dengan persoalan yang memang tak perlu dipertengkarkan". Coba saja Anda masuk ke grup keluarga, lalu menjelaskan kepada mereka akan bahayanya ajaran Salafi-Wahabi, kalau tidak disemprot balik, berarti Anda hebat. Kita berupaya memberi nasehat, malah kita pula yang dihujat.        

Namun kabar baiknya, perlahan doktrinasi IM, HTI, dan Salafi-Wahabi mulai banyak ditinggalkan. Penulis membaca tren ini ketika referensi pemikiran alternatif kian terbuka. Sebut saja Kiyai Ma'ruf Khozin , Gus Baha, Buya Yahya, Ustadz Ahmad Sarwat, Ustadz Muafa, dll. Untuk di Pontianak, Kiyai Zein Muchsin tampil merebut hati masyarakat, mengampanyekan dakwah nasehat wasatiyah,  memadukannya dengan filsafat dan postulat-postulat lokal. Selain itu, merujuk data kualitatif yang penulis rangkum mewakili pulau Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, ditemukan  penyintas-penyintas golongan puritan-konservatif masuk ke dalam Tarekat, mengkaji Tasawuf, berpikir inklusif, selanjutnya menyadari betapa urgen mendalami keagamaan-keislaman tak hanya berdasarkan teks, akan tetapi berusaha menemukan kontekstualisasinya.

Alhasil, giat menjadi insan muslim yang saleh, tidak harus membenturkan firman-firman Tuhan dengan Konsitusi Negara, ataupun meninggalkan secara penuh adat-istiadat dengan alasan menjalankan sunnah Nabi Muhammad SAW. Pemahaman Islam Rahmatan Lil 'Alamin, ramah dalam paduan sikap moderat, toleran kepada agama lain, adalah perihal yang dirindukan penyintas sebagai pucuk daripada pencarian spiritual. Jika Gerakan Dakwah Kultural mau menyeriusi persoalan ini, membuat packaging yang apik, niscaya akan disasar masyarakat dan dijadikan rujukan dalam menjalankan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. (Danyputra)     

Posting Komentar

0 Komentar