Aming Coffee

Aming Coffee

Krisis Adab Pelajar Indonesia di Era Digital, antara Realita dan Idealita

Ilustrasi : Krisis Adab Pelajar Indonesia Era Digital

Sambas - Kecanggihan teknologi memengaruhi segala aspek kehidupan manusia, baik dari sisi Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, tak terkecuali Pendidikan. Kemudahan mengakses ragam bentuk informasi, menjadi faktor yang sangat esensial, utamanya terkait pelaksanaan proses mendidik anak, baik di rumah maupun di sekolah. Idealnya, Revolusi 4.0, diharapkan mampu meningkatkan kualitas sistem edukasi, khususnya Indonesia. 

Menilik Laporan yang dirilis We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial tanah air, tercatat sebanyak 191 juta jiwa pada Januari 2022, meningkat 12,35% dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 170 juta user. Melihat trennya, jumlah pengguna media sosial di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, kendati pertumbuhannya mengalami fluktuasi sejak 2014-2022.

Secara normatif, pendidikan era digital merupakan kunci utama pencetak generasi unggul, terampil, dan berperilaku terpuji. UU SISDIKNAS NO. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan, Sistem Pendidikan Nasional di Bumi Pertiwi telah memberikan panduan yang jelas, yaitu menjadikan manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki akhlak mulia, beradab, berilmu, mandiri juga bertanggung jawab. Adapun ditinjau dalam frame etimologis, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adab berarti kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, dan akhlak. Ditegaskan pula dalam Pancasila butir kedua; "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".  

Nilai filosofis ini mendapat tantangan serius, dimana fenomena pelajar yang terlihat cerdas, up to date, bahkan lebih lincah mengoperasikan gadget jika dibandingkan orangtua mereka, akan tetapi, ditemukan sebagian minim adab. Menganggap guru layaknya teman biasa, berbicara dengan suara keras, melawan apabila diberi arahan tanpa rasa takut, dan sederet tingkah tak menyenangkan lainnya. 

Berkaca kasus empat tahun silam (1/2/18), penganiayaan yang dilakukan siswa kepada guru, hingga menyebabkan tewasnya Sang Pendidik di SMAN 1 Torjun, Sampang. Data Komnas Perempuan mencatat, selama periode 2017-2021, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yakni terdapat 35 kasus. Diikuti pesantren dengan 16 kasus, dan sekolah menengah atas (SMA) 15 kasus, melibatkan hubungan terlarang antara guru dan murid (kata.co.id).

Maraknya insiden kekerasan, pelecehan, dan perilaku seksual yang menyimpang di ruang lingkup sekolah, mendapat respon Menkopolhukam, Mahfud MD. Menurutnya, diperlukan penguatan akhlak dan budi pekerti untuk membentengi anak-anak generasi muda. Peran orang tua, tokoh masyarakat, dan pondok pesantren, sangat dibutuhkan dalam membangun mentalitas pendidikan sejak dini.

"Saya dulu waktu sekolah dimarahi guru justru orang tua senang, malah ketika pulang orang tua mengantarkan lagi ke guru suruh marahin lagi, tetapi sekarang tidak, malah siswa memukuli guru," tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Sehubungan hal ihwal moralitas, penulis membuka kembali memoar ketika masa bersekolah, dahulu orang tua tidak membela anaknya, mereka memercayakan apapun aturan sekolah harus diikuti. Kemudian ketika lewat di depan guru, membungkukkan badan dengan gestur tubuh penuh ketakutan. Berbanding terbalik kondisi penulis sekarang tatkala menjadi Guru. Anak didik terlalu dimanjakan oleh orangtua, sehingga posisi Guru serba-salah, bahkan berpotensi diperkarakan. Faktor inilah diantara yang menyebabkan jebloknya mentalitas pelajar masa kini, terutama dijenjang SMP tempat penulis mengabdi.

Realita diatas menitipkan pekerjaan rumah bagi semua pihak, baik orangtua, guru, pejabat terkait, tak mengesampingkan kesadaran siswa itu sendiri, misalnya pandai memilah dan memilih teman dekat, sebab pergaulan akan sangat berpengaruh terhadap etika, moral, dan akhlak seseorang. Apabila si pelajar bergaul di lingkungan yang baik, maka timbul kepribadian yang baik juga, dan berlaku sebaliknya (kemenag.go.id).
 
Tak kalah penting, peran orangtua tentunya dalam pembentukan karakter anak, terutama mengenalkan pendidikan agama sejak dini. Perhatian Ayah-Bunda merupakan penentu dasar, guna meminimalisir dampak buruk sikap sang buah hati. 

Bagi siswa, diwajibkan memperluas wawasan, agar perlahan bisa menyaring pengaruh buruk pertemanan, misalnya kebiasaan merokok usia dini. Menjadi perokok tidak otomatis meningkatkan kepercayaan diri, pastinya dapat menyebabkan timbulnya banyak macam penyakit. Kebiasaan ini berdampak buruk untuk dirinya sendiri, maupun orang-orang di sekelilingnya.

Selanjutnya, berusaha meng-upgrade iman dan takwa dengan cara bersyukur, bersabar, dan beramal saleh, terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan di Sekolah, akan membuat kita terhindarkan dari perbuatan yang merusak adab dan paling tidak disukai Allah SWT. 

Dengan demikian, generasi muda penerus bangsa, tumbuh sebagai Peserta Didik yang mampu memanfaatkan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaik-baiknya. Berpikir, bertindak kreatif, inovatif, memanfaatkan kemajuan industri digital tanpa meninggalkan aspek moral. (Amel)

Editor : Danyputra

Posting Komentar

0 Komentar